Sejarah Indonesia
Ekonomi Indonesia Tahun 1830
Ekonomi Indonesia Tahun 1830
Menjelang akhir dekade
ke-3 pemikiran dalam bidang ekonomi politik sekitar Jawa sebagai daerah
jajahan semakin kearah pihak konservatif
sehingga menyebabkan menjauh dari politik liberal. Hal ini disebabkan karena
beberapa hal diantaranya adalah sebagai berikut :
·
Sistem pajak tanah dan sestem perkebunan
(Landelijk Stelsel) yang ditetapkan dan berlaku selama 30 tahun banyak
mengalami hambatan. Ini disebabkan tidak lain karena sistem liberal yang
dipakai pada masa itu tidak sesuai dengan struktur sosial yang sangat feodal di
Jawa dan juga dengan segala ikatan-ikatan tradisionalnya. Oleh karena itu,
Pemerintah Kolonial tidak mampu menembusnya dan langsung berhubungan dengan
rakyat secara perseorangan dan bebas.
·
Defisit keuangan Pemerintah Kolonial
semakin besar, antara lain akibat Perang Diponegoro yang banyak menelan biaya,
selain itu juga ada pemasukan pajak tanah berjalan lancar.
·
Di Nederland kesulitan ekonomi bertambah
besar dengan terjadinya pemisahan Belgia, akibat dari itu Belanda banyak
kehilangan industrinya sehingga tidak dapat menyaingi Inggris dalam ekspor
hasil industri ke Indonesia. selain itu juga hilangnya sumber keuangan yang
berupa tanah domein negara di Belgia yang disewakan.
Sehingga, dalam
menghadapi bahaya kebangkrutan Pemerintah Belanda, maka pada Van den Bosch
timbul rencana untuk suatu ekonomi politik di Jawa yang akan dapat
menyelamatkan negerinya 1.
Dalam tahun 1830
pemerintah Hindia Belanda mengangkat Gubernur Jenderal yang baru untuk
Indonesia, yaitu Johanes Van Den Bosch yang diserahi tugas utama untuk
meningkatkan produksi tanaman ekspor yang terhenti selama sistem pajak tanah
berlangsung2.
Pada tahun 1830 pemerintah
kolonial Belanda menjalankan Cultuurstelsel di Indonesia, khususnya di
Jawa. Cultuurstelsel adalah istilah resmi pengganti cara produksi yang
tradisional dengan cara produksi yang rasional, disebut juga dengan istilah
“tanam paksa” oleh kaum liberal yang anti cara itu karena dianggap
sebagai usaha pemerintah yang dalam pelaksanaannya menggunakan cara-cara
paksaan3. Pemerintah kolonial Belanda
menjalankan tanam paksa tersebut karena kas negara kosong, akibat terjadinya
beberapa peperangan di Jawa dan kegagalan dalam pajak tanah.
Cultuurstelsel yang oleh sejarawan
Indonesia disebut sebagai Sistem Tanam
Paksa adalah peraturan yang dikeluarkan oleh Gubernur
Jenderal Johannes van den Bosch
pada tahun 1830
yang mewajibkan setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya (20%) untuk ditanami
komoditi ekspor, khususnya kopi,
tebu,
dan tarum
(nila). Hasil tanaman ini akan dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga
yang sudah dipastikan dan hasil panen diserahkan kepada pemerintah kolonial.
Penduduk desa yang tidak memiliki tanah harus bekerja 75 hari dalam setahun
(20%) pada kebun-kebun milik pemerintah yang menjadi semacam pajak4.
Sebelum membahas
tentang tanam paksa lebih lanjut terlebih dahulu mengetahui tentang pencetus
tanam paksa yaitu Van den Bosch. Ternyata Van den Bosch sudah pernah datang ke
Indonesia pada masa sebelum Daendels kemudian Ia terpaksa meninggalkan Jawa.
Dalam perjalanan pulang Van den Bosch
ditawan oleh Britania dan menghabiskan 2 tahun di Inggris. Tetapi pada tahun
1813 ketika itu Eropa bangkit melawan dominasi Perancis, Van den Bosch
bergabung dengan gerakan nasional di Belanda. Van den Bosch memegang posisi
militer tinggi di negara Belanda baru dan ketika pensiun dia mengabdikan
waktunya untuk masalah-masalah sosial ekonomi. Van den Bosch sangat
berminat menciptakan kesempatan kerja
untuk ribuan orang miskin yang ketika itu memadati kota-kota Belanda. Untuk
para penganggur ini tampaknya tidak ada harapan untuk memperoleh masa depan
lebih baik. Van den Bosch mengorganisasikan suatu “Masyarakat Budiman” untuk
memungkimkan orang miskin kota itu di wilayah pertanian yang belum terbangun di
Belanda bagian Timur laut. Van den Bosch diambil pekerjaannya oleh raja yang
mempercayakan kepadanya suatu misi khusus ke Hindia Barat. Setelah pulang dia
menerima perintah untuk pergi ke Hindia Timur dan merorganisasi struktur
ekonomi diwilayah itu5. Itulah sekilas singkat tentang Van den
Bosch.
Lanjut kembali mengenai
pembahasan tanam paksa. Dimana pada dasarnya tanam paksa pada masa Pemerintahan
Kolonial Belanda terkenal dengan nama Cultuurstelsel yang berarti pemulihan
sistem eksploitasi berupa penyerahan wajib yang pernah dipraktekkan VOC sewaktu
berkuasa dahulu6.
Sebagaimana diketahui bahwa sekitar
abad XVIII Masehi secara resmi pemerintahan Indonesia pindah dari kekuasaan VOC
kepada pemerintah kolonial Belanda. Antara sistem eksploitasi VOC dengan
pemerintah kolonial terdapat persamaan yaitu dalam hal penyerahan wajib
hasil-hasil pertanian penduduk desa, meskipun cara pelaksanaannya agak berbeda,
pemerintah kolonial Belanda secara langsung mengadakan hubungan dengan para
petani yang secara efektif menjamin arus tanaman eksport dalam jumlah yang
dikehendaki tanpa harus menghubungi terlebih dahulu para bupati dan kepala desa7.
Sistem tanam paksa mewajibkan para
petani di Jawa untuk menanam tanaman-tanaman dagangan untuk ekspor ke pasaran
dunia. Ciri utama dari sistem tanam paksa yang diperkenalkan oleh Van den Bosch
adalah keharusan bagi rakyat di Jawa untuk membayar pajak mereka dalam bentuk
barang, yaitu hasil-hasil pertanian mereka dan bukan dalam bentuk uang seperti
yang mereka lakukan selama sistem pajak tanah yang masih berlaku. Van den Bosch
mengharapkan agar dengan pungutan-pungutan pajak dalam natura ini tanaman
dagangan bisa dikirimkan ke negeri Belanda untuk di jual disana kepada
pembeli-pembeli dari Amerika dan seluruh Eropa dengan keuntungan yang besar
bagi Pemerintah dan penguasa-pengusaha Belanda8.
Konsep ekonomi politik dari Van den
Bosch tersusun berdasarkan pengalaman-pengalaman penguasaha-penguasaha yang
mendahuluinya, maka dapat mencakup beberapa gagasan pokok mereke tanpa mengabaikan
realitas yang dihadapi di Jawa. Selain itu juga pelaksanaan sistem tanam paksa
menggunakan organisasi desa sebagai wahana yang paling tepat untuk meningkatkan
produksi9. Alasan mengapa dalam pelaksanaan tanam paksa itu
dipergunakan desa sebagai organisme yaitu tanah, kerja dan pimpinan, karena
semuanya itu merupakan satu kesatuan
yang tidak dapat dipisahkan. Ke tiga faktor itu apabila di organisasi
dengan baik dapat memberikan hasil produksi eksport yang tinggi10.
Pada masa tanam paksa itu, jenis tanaman
dipisahkan dalam 2 kategori yaitu: 1). Tanaman tahunan: Tebu, nila, tembakau.
2). Tanaman keras: kopi, teh, lada, kina, kayu manis11. Dari semua
itu yang merupakan produk utama yang disediakan Jawa selama peride tanam paksa
diantaranya gula, kopi, dan nila. Kopi sebagian besar diproduksi di Priangan12.
Untuk meningkatkan produksi eksport Pemerintah Kolonial melakukan usahanya
dalam menentukan tanaman yang memberikan keuntungan besar diantaranya tebu dan
kopi. Alasan mengapa tanaman tebu dipilih dalam usaha meningkatkan produksi
eksport kolonial karena Tanaman tebu
merupakan tanaman tahunan yang membutuhkan irigasi, dan dapat ditanam di sawah,
sehingga memungkinkan dapat menanam tebu dan padi bergantian. Sedangkan
penanaman tebu tidak cukup kalau hanya mengandalkan pada perluasan tanah, tanpa
diimbangi oleh irigasi jalan raya dan sebagainya. Penduduk desa pada dasarnya
mempunyai jiwa sosial yang tinggi, sehingga mereka melakukan
pekerjaan-pekerjaan itu dengan semangat gotong royong dan kekeluargaan, hal
inilah yang disalahgunakan oleh penguasa dan pemerintah kolonial untuk
mempekerjakan mereka dan memberi upah yang minim13. Pendirian
pabrik-pabrik gula berarti banyak tanah desa yang dipergunakan untuk menanam
tebu. Hasil produksi tebu yang meningkat mengakibatkan harus memerlukan banyak
tenaga penduduk desa.
Berdasarkan pengalaman dalam kerja
paksa ini membuat para penguasa swasta mendapat keuntungan besar dari hasil
kontrak gula dengan pemerintah kolonial. Para penguasa swasta mulai berani
menggunakan “kerja bebas” yaitu upah yang tidak berdasarkan paksaan melainkan
berdasarkan persetujuan sukarela. Jalan-jalan dan alat-alat pengangkutan
diperbanyak karena itu penguasa Eropa di Jawa berusaha untuk mengadakan
ekspansi14.
Ketentuan-ketentuan
sistem tanam paksa, terdapat dalam Staatblad (lembaran negara) tahun 1834 No.
22, lebih kurang 4 tahun setelah pelaksanaan sistem tanam paksa. Ketentuan
pokok sistem tanam paksa, antara lain:
1.
Orang-orang Indonesia akan menyediakan
sebagiandari tanah sawahnya untuk ditanami tanaman yang laku di pasar Eropa
seperti kopi, teh, tebu, dan nila. Tanah yang diserahkan itu tidak lebih dari
seperlia dari seluruh sawah desa.
2.
Bagian tanah yang disediakan sebanyak
seperlima luas sawah itu bebas dari pajak.Pekerjaan untuk memelihara tanaman
tersebut tidak boleh melebihi lamanya pekerjaan yang diperlukan untuk
memelihara sawahnya sendiri.
3.
Hasil dari tanaman tersebut diserahkan
kepada Pemerintah Belanda dan ditimbang.. Jika harganya ditaksir melebihi harga
sewa tanah yang harus dibayar oleh rakyat, maka lebihnya tersebut akan
dikembalikan kepada rakyat. Hal ini bertujuan untuk memacu para penanam supaya
bertanam dan memajukan tanaman ekspor.
4.
Terdapat pembagian tugas yang jelas,
yaitu ada yang bertugas menanam saja, ada yang memungut hasil, ada yang
bertugas mengirim hasil ke pusat, dan ada yang bekerja di pabrik. Pembagian ini
bertujuan untuk menghindari agar tidak ada tenaga yang harus bekerja sepanjang
tahun terus-menerus.
5.
Tanaman yang rusak akibat bencana alam,
dan bukan akibat kemalasan atau kelalaian rakyat, maka akan ditangggung oleh
pihak pememrintah.
6. Bagi
para penduduk yang tidak mempunyai tanah akan dipekerjakan pada perkebunan
milik pemerintah selama 65 hari dalam setahun, pelaksanaan tanam
paksa diserahkan kepada pegawai-pegawai pribumi, dan pihak pegawai Eropa hanya
sebagai pengawas15.
Selain itu juga ketentuan mengenai
yang ditinjau dari segi luas tanah, tanah yang disediakan untuk tanam paksa
diambil sebagai presentasi dari seluruh luas tanah pertanian di Jawa tidak
begitu besar. Sebagi contoh dibawa ini menjelaskan mengenai tabel pembagian
luas tanah untuk penanaman paksa menurut jenis tanamanya dalam tahun 188316.
Tabel
pembagian luas tanah Tanam paksa
menurut
jenis Tanamannya
dalam tahun
188317
Jenis tanaman
|
Luas tanah (dalam bahu)
|
Gula
|
32,722
|
Nila (Indigo)
|
22,141
|
Teh
|
324
|
Tembakau
|
86
|
Kayu manis
|
30
|
Kapas
|
5
|
Pelaksanaan tanam paksa dalam
kenyataannya tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku pada masa itu. Menurut
ketentuan, pemerintahan kolonial seharusnya mengadakan perjanjian
dengan rakyat terlebih dahulu, tetapi dalam prakteknya, dilakukan tanpa
perjanjian dengan penduduk desa sebelumnya dan dengan cara paksaan. Sehingga,
banyak terjadi penyelewengan dan penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh
pegawai kolonial, bupati dan kepala desa itu sendiri mengakibatkan timbul
penderitaan pada penduduk desa yang bersangkutan. Bupati dan kepala desa
bekerja bukannya mengabdi kepada kepentingan rakyat desa melainkan kepada pemerintah
kolonial atau demi kepentingan pribadi, membuat merosotnya martabat dan
kewibawaan pejabat-pejabat yang bersangkutan dan juga dianggap sebagai
kaki tangan pemerintah kolonial18.
Selain pernyataan diatas
penyimpangan-penyimpangan dalam sistem tanam paksa diantaranya sebagai berikut
:
1.
Perjanjian tersebut seharusnya dilakukan
dengan sukarela, tetapi dalam pelaksanannya dilakukan dengan cara paksaan.
Pemerintah kolonial memanfaatkan pejabat-pejabat lokal seperti bupati dan
kepala-kepala daerah untuk memaksa rakyat agar menyerahkan tanah mereka.
2.
Di dalam perjanjian, tanah yang
digunakan untuk Culturstelsel adalah seperlia sawah, namun dalam prakteknya
dijumpai lebih dari seperlima tanah, yaitu sepertiga atau setengah sawah.
3.
Waktu untuk bekerja untuk tanaman yang
dikehendaki pemerintah Belanda, jauh melebihi waktu yang telah ditentukan.
Waktu yang ditentukan adalah 65 hari dalam setahun, namun dalam pelaksanaannya
adalah 200 sampai 225 hari dalam setahun.
4.
Orang yang dipekerjakan berasal dari
tempat-tempat yang jauh dari kampungnya, padahal manakan harus disediakan
sendiri.
5.
Tanah yang digunakan untuk penanaman
tetap saja dikenakan pajak sehngga tidak sesuai dengan perjanjian
6.
Kelebihan hasil tidak dikembalikan
kepada rakyat atau pemilik tanah, tetapi dipaksa untuk dijual kepada pihak
Belanda dengan harga yang sangat murah;
7.
Dengan adanya sistem persen yang
diberikan kepada para pejabat lokal, maka para pejabat itu memaksa
orang-orangnya supaya tanamannnya bisa menghasilkan lebih banyak.
8.
Tanaman pemerintah harus didahulukan
baru kemudian menanam tanaman mereka sendiri. Kadang-kadang waktu untuk
menanam; tanamannya sendiri itu tinggal sedikit sehingga hasilnya kurang
maksimal.
9. Kegagalan
panen tetap menjadi tanggung jawab para pemilik tanah19.
Pelaksanaan tanam paksa di Jawa
berlangsung lebih kurang selama 40 tahun dan memberikan hasil yang baik bagi
pemerintah kolonial sehingga dapat membangun di segala bidang. Sedangkan bagi
penduduk di Jawa khususnya, memberikan pula dampak dalam bidang pertanian, sosial
maupun ekonomi, antara lain:
a.
Dalam bidang pertanian
Cultuurstelsel
menandai dimulainya penanaman tanaman komoditi pendatang di Indonesia secara
luas. Kopi dan teh, yang semula hanya ditanam untuk kepentingan keindahan taman
mulai dikembangkan secara luas. Tebu, yang merupakan tanaman asli, menjadi
populer pula setelah sebelumnya, pada masa VOC, perkebunan hanya berkisar pada
tanaman "tradisional" penghasil rempah-rempah
seperti lada,
pala,
dan cengkeh.
Kepentingan peningkatan hasil dan kelaparan yang melanda Jawa akibat merosotnya
produksi beras meningkatkan kesadaran pemerintah koloni akan perlunya
penelitian untuk meningkatkan hasil komoditi pertanian,
dan secara umum peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pertanian.
Walaupun demikian, baru setelah pelaksanaan UU Agraria 1870 kegiatan penelitian
pertanian dilakukan secara serius20.
b. Dampak Sosial
·
Dalam bidang pertanian, khususnya dalam struktur
agraris tidak mengakibatkan adanya perbedaan antara majikan dan
petani kecil penggarap sebagai budak, melainkan terjadinya
homogenitas sosial dan ekonomi yang berprinsip pada pemerataan dalam pembagian
tanah21.
·
Ikatan antara penduduk dan desanya semakin kuat hal
ini malahan menghambat perkembangan desa itu sendiri. Mengapa terjadi hal
demikian? Karena penduduk lebih senang tinggal di desanya, mengakibatkan
terjadinya keterbelakangan dan kurangnya wawasan untuk perkembangan kehidupan
penduduknya.
c. Dampak ekonomi:
·
Dengan adanya tanam paksa tersebut menyebabkan
pekerja mengenal sistem upah yang sebelumnya tidak dikenal oleh penduduk,
mereka lebih mengutamakan sistem kerjasama dan gotongroyong terutama
tampak di kota-kota pelabuhan maupun di pabrik-pabrik gula.
·
Dalam pelaksanaan tanam paksa, penduduk desa
diharuskan menyerahkan sebagian tanah pertaniannya untuk ditanami tanaman
eksport, sehingga banyak terjadi sewa menyewa tanah milik penduduk dengan
pemerintah kolonial secara paksa. Dengan demikian hasil produksi tanaman
eksport bertambah,mengakibatkan perkebunan-perkebunan swasta tergiur untuk ikut
menguasai pertanian di Indonesia di kemudian hari22.
·
Akibat lain dari adanya tanam paksa ini adalah
timbulnya “kerja rodi” yaitu suatu kerja paksa bagi penduduk tanpa diberi upah
yang layak, menyebabkan bertambahnya kesengsaraan bagi pekerja. Kerja rodi oleh
pemerintah kolonial berupa pembangunan-pembangunan seperti; jalan-jalan raya,
jembatan, waduk, rumah-rumah pesanggrahan untuk pegawai pemerintah kolonial,
dan benteng-benteng untuk tentara kolonial. Di samping itu, penduduk desa se
tempat diwajibkan memelihara dan mengurus gedung-gedung pemerintah, mengangkut
surat-surat, barang-barang dan sebagainya. Dengan demikian penduduk dikerahkan
melakukan berbagai macam pekerjaan untuk kepentingan pribadi pegawai-pegawai
kolonial dan kepala-kepala desa itu sendiri.
Dampak lain dari tanam paksa
tersebut yaitu secara tidak sengaja juga membantu kemajuan bagi bangsa
Indonesia, dalam hal mempersiapkan modernisasi dan membuka jalan bagi
perusahaan-perusahaan partikelir bagi bangsa Indonesia sendiri.
Akibat tanam paksa ini,
produksi beras semakin berkurang, dan harganya pun melambung. Pada tahun 1843,
muncul bencana kelaparan di Cirebon,
Jawa
Barat. Kelaparan juga melanda Jawa
Tengah, tahun 1850.
Sistem tanam paksa yang
kejam ini, setelah mendapat protes keras dari berbagai kalangan di Belanda, akhirnya
dihapus pada tahun 1870,
meskipun untuk tanaman kopi di luar Jawa masih terus berlangsung sampai 1915.
Program yang dijalankan untuk menggantinya adalah sistem sewa tanah dalam UU
Agraria 187023.
Jadi dapat disimpulkan ekonomi
Indonesia tahun 1830 merupakan sistem ekonomi tanam paksa dimana perekonomian
di Indonesia mengalami perubahan semenjak datangnya Kolonial di Indonesia.
dengan demikian juga mengenai ekonomi tahun 1830 dimana merupakan sistem
ekonomi tanam paksa pada dasarnya merupakan suatu sistem eksploitasi yang sama
seperti yang pernah dilakukan oleh VOC sebelumnya. Karena pengaruh yang
mendalam ini, sehingga sistem tanam paksa menimbulkan berbagai perubahan dalam
kehidupan masyarakat Jawa dengan beberapa akibat yang tidak diingingkan,
khususnya desintegrasi struktur sosial masyarakat Jawa. Desintegrasi ini
terutama disebabkan oleh makin meresapnya ekonomi dan lalu lintas uang yang
sebelumnya tidak dikenal dalam masyarakat Jawa. Perkembangan ekonomi dan lalu
lintas uang ini terutama disebabkan oleh meluasnya pekerjaan upah dan penyewaan
tanah para petani kepada pengusaha-pengusaha Belanda yang dibayar dalam bentuk
uang24.
Selama tahun-tahun pertama, sistem
tanam paksa membuktikan diri sebagai suatu sistem eksploitasi yang efisien yang
berhasil meningkatkan penerimaan pemerintah kolonial dan melalui batig slot
dalam anggarannya berhasil menutupi defisit yang diderita Pemerintah Belanda
sendiri maupun meningkatkan tingkat kemakmuran bangsa Belanda. Di lain pihak
sistem tanam paksa pada umumnya tidak menguntungkan rakyat Indonesia sendiri,
malahan sebaliknya sering menimbulkan penderitaan dan kesengsaraan yang besar25.
Surplus
ekonomi yang dihasilkan oleh sistem ini, praktis tanpa menmggunakan modal pokok
investasi yang berarti, karena modal pokok investasi adalah tenaga kerja petani.
Tenaga kerja diperas dengan tingkat pendapatan riil yang semakin kecil sehingga
kian menciutkan kapasitas petani pekerja untuk menjadi tenaga kerja produktif.
Akhirnya kelas pekerja ini tidak memiliki kesempatan untuk semakin memperbaiki
dirinya. Kebijakan menanaman komoditas ekspor bahan-bahan mentah ini,
menjadikan proses pemenuhan terhadap kebutuhan bahan pokok semakin merosot.
Pulau Jawa mengalami kemerosotan bahan makanan pokok, terutama sesudah
pembukaan perkebunan-perkebunan besar dilaksanakan. Surplus ekspor (setelah dikurangi
impor) sebagai hasil sistem tanam paksa tercatat berjumlah sebesar 781 guilden,
selama periode 1840-187526.
Kemajuan-kemajuan tertentu yang
terlibat selama sistem tanam paksa berlangsung misalnya perluasan jaringan
jalan raya yang sebetulnya tidak disebabkan oleh keinginan pemerintah kolonial
untuk meningkatkan taraf hidup bangsa Indonesia. dalam tahun-tahun terakhir
makin jelas bahwa sistem tanam paksa sebagai suatu sistem eksploitasi kolonial
tidak begitu efisien. Oleh sebab itu, adanya keinginan pihak swasta
sumber-sumber alam Hindia Belanda, akhirnya sekitar tahun 1870 sistem tanam
paksa dihentikan dan digantikan menjadi sistem politik pintu terbuka. Dengan
demikian terbukalah bagi modal swasta Belanda untuk memasuki Hindia Belanda27.
2.2 Ekonomi Indonesia Tahun 1870.
Latar
belakang dari pergantian sistem tanam paksa menjadi sistem ekonomi politik
pintu terbuka ini yang pada dasarnya politik kolonial liberal di Indonesia
tidak terlepas dari perubahan politik Belanda. Dimana pada tahun 1850, golongan
liberal mulai mempeoleh kemenangan dalam Pemerintahan. Kemenangan itu diperoleh
secara mutlak pada tahun 1870, sehingga tanam paksa dihapuskan. Mereka
berpendapat bahwa kegiatan ekonomi di Indonesia harus ditangani oleh pihak swasta.
Pemerintah hanya mengawasi saja, yaitu hanya sebagai polisi penjaga malam yang
tidak boleh campur tangan dalam bidang ekonomi. Sistem ini akan menumbuhkan
persaingan dalam rangka meningkatkan produksi perkebunan di Indonesia. Dengan
demikian pendapatan negara juga akan bertambah28.
Pada tahun 1870 sistem tanam paksa
di bubarkan. Alasannya cukup jelas karena banyaknya kritikan-kritikan mengenai
pelaksanaan tanam paksa dan juga mendapat kecaman yang cukup keras dari
berbagai kalangan di Belanda khususnya dari kaum Liberal. walaupun, sistem
tanam paksa tersebut dibubarkan. Namun, pemaksaan penanaman kopi di luar Jawa
masih terus berlangsung hingga tahun 1915. Kemudian sistem tanam paksa di
gantikan oleh kapitalis Liberal. Tidak ada yang berubah dalam dialetik hubungan
ekonomi yang terbangun, jika
dulu yang melakukan eksploitasi adalah pemerintah sekarang di gantikan
pengusaha swasta, pemerintah hanya berperan sebagai penjaga dan pengawas
jalannya sistem ekonomi melalui peraturan perundang-undangan29.
Sistem
ekonomi kolonial antara tahun-tahun 1870-1900 pada umumnya disebut sistem
liberalisme. Maksudnya adalah bahwa pada masa itu untuk pertama kali dalam
sejarah kolonial, modal swasta diberi peluang sepenuhnya untuk mengusahakan
kegiatan di Indonesia, khususnya perkebunan-perkebunan besar di Jawa maupun di
daerah-daerah di luar Jawa. Selama masa ini pihak-pihak swasta Belanda maupun
swasta Eropa lainnya mendirikan berbagai perkebunan-perkebunan kopi, teh, gula,
dan kina30.
Skema dialektik hubungan ekonomi Indonesia di
Zaman Belanda
Pelaksanaan
politik pintu terbuka diawali dengan dikeluarkanya Undang-Undang diantaranya
sebagai berikut :
1.
Indische Comptabiliteitswet tahun 1867
Yaitu UU
perbendaharaan Hindia Belanda yang menyatakan bahwa anggaran belanja Hindia
Belanda harus ditetapkan dengan Undang-Undang
dengan persetujuan Parlemen Belanda.
2.
Agrarichwet 1870 (UU agraria)
Berisi
antara lain sebagai berikut :
·
Tanah di Indonesia dibedakan menjadi 2 bagian yaitu
tanah rakyat dan tanah pemerintah.
·
Tanah rakyat dibedakan atas tanah milik yang sifatnya
bebas dan tanah desa yang tidak bebas. Tanah rakyat tidak boleh dijual kepada
bangsa asing, hanya boleh disewakan.
·
Tanah pemerintah dapat dijual untuk tanah milik
(eigendom) atau disewakan selama 75 tahun.
Adapun tujuan dari dikeluarkannya undang – undang agrarian ini, antara lian
:
a.
untuk
membela dan melindungi para petani di daerah jajahan agar hak milik atas
tanahnya dari usaha penguasaan oleh orang – orang lain.
b.
memberi
peluang bagi penanam modal asing untuk dapat menyewa tanah dar rakyat Indonesia,
sehingga menguntungkan bagi rakyat Indonesia32.
Adanya
UU Agraria memberikan pengaruh bagi kehidupan rakyat, seperti
berikut:
·
Dibangunnya fasilitas perhubungan dan
irigasi.
·
Rakyat menderita dan miskin.
·
Rakyat mengenal
sistem upah dengan uang,
juga mengenal barang-barang ekspor dan impor.
·
Timbul pedagang
perantara. Pedagang-pedagang tersebut pergi
ke daerah pedalaman,
mengumpulkan hasil pertanian dan menjualnya kepada
grosir.
·
Industri atau
usaha pribumi mati karena
pekerja-pekerjanya banyak yang pindah bekerja di perkebunan dan pabrik-pabrik33.
3. Suikerwet
1870 (UU gula)
berisi ketetapan bahwa tanaman tebu sebagai
tanaman monopoli pemerintah berangsung-angsur akan dihilangkan sehingga di
pulau jawa dapat diusahakan oleh pengusaha swasta34.
Selain itu
juga isi dari Undang-Undang Gula diantaranya sebagai berikut:
·
sewa hanya
dapat dilakukan antara satu sampai dua tahun.
·
uang sewa
sebesar hasil dari satu kali panen petani, kalau tanah itu dikerjakan oleh petani.
·
investor
asing wajib mengadakan perjanjian langsung atau kontrak dengan petani35.
Dengan
dikeluarkannya undang – undang agraria dan undang – undang gula ini, maka
terbukalah Indonesia bagi kaum liberal eropa untuk menanamkan modalnya di
Indonesia. Dengan adanya modal asing yang ditanamkan di Indonesia, maka muncullah perkebunan –
perkebunan asing seperti, tebu, kopi, tembakau, teh, kina, kopra, dan
sebagainya. Perkebunan tebu mengalami perkembangan yang sangat pesat, karena
gula merupakan mata dagang ekspor yang laku keras di pasaran eropa. Disamping
gula, perkebunan tembakau juga berkembang pesat di daerah surakata, yogyakarta
dan Sumatra timur ( deli ). Perkebunan teh dan kina dikembangkan di daerah jawa
barat dan jawa tengah , perkebunan kelapa dipusatkan di sulawesi36.
Untuk mendukung pelaksanaan dan
pengembangan usaha swasta dibangun sarana dan prasarana yaitu Irigasi, jalan
raya, jembatan dan kereta api. Angkutan laut juga dikembangkan melalui
pembangunan pelabuhan Jakarta (Tanjung Priuk), Medan ( Belawan). Padang (Teluk
Bayur). Angkutan laut dilayani oleh perusahaan pengangkutan Belanda bernama
Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM)37.
Pengaruh
Politik Liberal Bagi Indonesia
Adanya swasta asing di Indonesia
berakibat berkembangnya perkebunan-perkebunan swasta asing di Indonesia sebagai
contoh perkebunan teh dan kina di Jawa Barat, perkebunan Tembakau di Deli,
perkebunan tebu di Jawa Tengah dan Jawa Timur, dan perkebunan karet di Serdang.
Selain mengenai perkebunan sejak adanya swasta asing di Indonesia juga terjadi
penanaman modal di bidang pertambangan batu bara di Umbilin. Adapun pengaruh
gerakan liberal terhadap Indonesia secara umum adalah sebagai berikut :
·
Tanam paksa dihapus.
·
Modal swasta asing mulai ditanamkan di
Indonesia.
·
Rakyat Indonesia mulai mengerti akan
arti pentingnya uang.
·
Usaha kerajinan rakyat terdesak oleh
barang impor.
·
Pemerintah Hindia Belanda membangun
sarana dan prasarana.
·
Hindia Belanda menjadi penghasil barang
perkebunan yang penting38.
Ternyata pelaksanaan politik
kolonial tidak lebih baik dari sistem ekonomi tanam paksa. Justru pada masa ini
penduduk diperas oleh dua pihak diantaranya oleh pihak swasta dan pihak
pemerintah. Pemerintah memeras penduduk secara tidak langsung melalui
pajak-pajak perkebunan dan pabrik yang harus di bayar oleh pihak swasta.
Padahal, pihak swasta juga ingin mendapat keuntungan yang besar. Sehingga untuk
melakukan hal tersebut parah buruh di bayar dengan gaji yang sangat rendah,
tanpa jaminan kesehatan yang memadai, jatah makan yang kurang, dan tidak lagi
mempunyai tanah karena sudah disewakan untuk membayar hutang. Mereka sangat
tersiksa dengan perbuatan tersebut. Selain itu juga para pekerja perkebunan
diikat dengan sistem kontrak. Sehingga mereka tidak dapat melepaskan diri.
Mereka harus mau menerima semua yang telah ditetapkan oleh perusahaan. Mereka
tidak berani melarikan diri karena
mereka akan terkena hukuman dari pengusaha jika tertangkap. Dimana pihak
pengusaha tersebut mempunyai peraturan yang disebut Ponale Sanctie yaitu
peraturan yang menetapkan pemberian sanksi hukuman bagi para buruh yang
melarikan diri dan tertangkap kembali. Sehingga keadaan sperti ini yang
menyebabkan tingkat kesejahteraan rakyat semakin merosot sehingga rakyat
semakin menderita39.
Jadi, pada masa tanam
paksa rakyat diperas oleh pemerintah Hindia Belanda, sedangkan pada masa
politik pintu terbuka rakyat diperas baik pengusaha swasta maupun oleh
pemerintah. Walaupun pemerintah melakukannya secara tidak langsung. Kekuatan
liberal mendesak pemerintahan kolonial melindungi modal swasta dalam
mendapatkan tanah, buruh, dan kesempatan menjalankan usaha atau perkebunan.
Negara menjadi pelayan modal lewat dukungan infrastruktur dan birokrasi, dengan
menelantarkan pelayanan masyarakat. Dengan demikian politik kolonial liberal
yang semula menghendaki liberalisasi tanah jajahan lalu berkembang menjadi
bagaimana mengatur tanah jajahan untuk memperoleh uang40.
dampak pelaksanaan sistem usaha
swasta antar lain sebagai berikut :
·
bagi Belanda sistem ini telah memberi keuntungan yang
besar karena meningkatnya tanaman eksport, seperti gula, kopi, teh kopra dan
kina. Keuntungan Belanda berkisar 151 juta gulden pada tahun 1877.
·
Bagi bangsa Indonesia mengenal sistem ekonomi uang
yaitu masyarakat mengenal uang tunai dari hasil sewa tanah. Dampak negatifnya
adalah mundurnya kerajinan rakyat serta sarana tradisional karena digantikan
alat dan sarana yang lebih modern. Para pekerja perkebunan banyak yang
mengalami penderitaan karena sebagai kuli kontrak terkuno Poenale Sanctic
(Sanksi hukuman) yang acapkali diperlakukan semena-mena41.
Akhirnya pelaksanaan sistem usaha
swasta ini mendapat kritikan dari berbagai pihak diantaranya dari Van De Venter
yang akhirnya melahirkan politik etika tahun 190142.
2.3 Dampak Ekonomis Sistem Tanam Paksa pada Masyarakat
Agraris di Jawa
Dalam ruang
lingkup tradisional, tenaga kerja rakyat pedesaan tererap dalam berbagai
ikatan, baik dari desa maupun yang feodal. Dimana penyelenggaraan sistem tanam
paksa didasarkan pada kelembagaan tersebut. Permintaan akan tenaga kerja baru
diakibatkan karena pendirian pabrik-pabrik tempat memproses hasil tanaman,
terutama tebu. Pada awalnya industri gula mengalami kesulitan diantaranya soal
transportasi yang terasa amat sangat membebani rakyat jika diharuskan
memikulnya. Oleh karena tersebut Gubernur terpaksa menaikkan harga beli gula
agar pemilik pabrik bersedia mengusahakan sendiri pengangkutan lewat pasaran
bebas. Disini mulai terbuka lapangan pekerjaan bebas bagi rakyat, antara lain
dengan menyewakan pedati, bekerja sebagai buruh di pabrik, dan sebagainya.
Pembayaran plantloon (upah tanam) sehabis menyerahkan hasil tanaman wajib dapat
dipandang sebagai penukaran tenaga dengan uang, suatu langkah kearah pembebasan
tenaga dari ikatan tradisional43.
Selain
mengenai perkebunan pada sistem tanam paksa ini juga telah ramai pula pemasaran
barang-barang antara lain barang tekstil impor, seperti pada tabel berikut :
Tabel Laporan Pemasaran barang Tekstil44
Tahun
|
Pendapatan
|
1830
|
3,8
|
1831
|
2,9
|
1832
|
1,9
|
1833
|
3,9
|
1834
|
4,4
|
1835
|
4,1
|
Tahun
|
Pendapatan
|
1836
|
6,1
|
1837
|
7,1
|
1838
|
9,7
|
1839
|
10,5
|
1840
|
13,3
|
Jadi, dengan
demikian sistem tanam paksa tersebut telah menciptakan lalu lintas uang, suatu
faktor ekonomi yang dapat mempercepat timbulnya ekonomi uang di pedalaman.
Dalam
penyelenggaraan sistem tanam paksa ini, kekuasaan kolonial sampai di pedesaan
dan merusak hak milik tanah menurut hukum adat setempat. Sehingga dapat
dikatakan bahwa sistem tanam paksa memperkuat sistem feodal di Jawa. dampak
sistem tanam paksa pada masyarakat Indonesia yang sangat berpengaruh dalam
jangka panjang pada struktur sosial ekonomi antara lain bahwa sistem tanam
paksa hanya merupakan suatu intensifikasi sistem produksi pra kapitalis,
sehingga tidak mampu menciptakan kekuatan-kekuatan ekonomis yang otokhon yang
melahirkan pertumbuhan ekonomi dengan perkembangan kapitalismenya. Sistem tanam
tersebut menciptakan usaha pertanian yang padat karya pada pihak pribumi serta
usaha industri pertanian yang padat modal pada pihal penguasa Eropa atau asing.
Akibat dari itu timbul dualisme dalam ekonomi, suatu gejala yang menjadi ciri
khas ekonomi Indonesia dan merupakan sistem yang konsisten dengan politik
kolonial Belanda. Sektor agraris-pribumi dalam penyelenggaraan sistem tanam
paksa tidak hanya tidak mengalami perubahan cara produksi bahkan dimantapkan
diantaranya dengan memperkuat sistem produksi feodal pada suatu pihak dan pada
pihak lain membuat ekosistem agraris yang kuat dan karenanya membangun pola
agraris yang lestari dimana sampai sekarang masih terasa pengaruhnya45.
Intenfikasi
pertanian dalam masa sistem tanam paksa dan selama setengah abad sesudahnya
mencakup perluasan tanah-sawah untuk tanaman tebu dan pengerahan tenaga semakin
banyak. Perluasan ini dibatasi oleh pernyataan “domein” tanah-tanah yang belum
terbuka lagi pula sistem tanaman tebu setiap musim sangat membatasi areal
penanaman padi. Disamping itu sudah tuntas semua usaha dalam penggunaan tanah
yang seproduktif mungkin. Pengaturan pengairan, pembuatan terasnya, pendeknya pemakaian-pemakaian
sumber daya pertaniannya. Dalam kondisi seperti itu masukan baru yang dapat
diadakan dan masih tersedia ialah sumber daya manusia, akan tetapi memberikan
kemungkinan kenaikan produksi lagi. Sehingga tampak gejala involusi agraris di
Jawa46.