selamat datang

Minggu, 17 Februari 2013

Sejarah Indonesia


 Sejarah Indonesia

Ekonomi Indonesia Tahun 1830
Menjelang akhir dekade ke-3 pemikiran dalam bidang ekonomi politik sekitar Jawa sebagai daerah jajahan  semakin kearah pihak konservatif sehingga menyebabkan menjauh dari politik liberal. Hal ini disebabkan karena beberapa hal diantaranya adalah sebagai berikut :
·         Sistem pajak tanah dan sestem perkebunan (Landelijk Stelsel) yang ditetapkan dan berlaku selama 30 tahun banyak mengalami hambatan. Ini disebabkan tidak lain karena sistem liberal yang dipakai pada masa itu tidak sesuai dengan struktur sosial yang sangat feodal di Jawa dan juga dengan segala ikatan-ikatan tradisionalnya. Oleh karena itu, Pemerintah Kolonial tidak mampu menembusnya dan langsung berhubungan dengan rakyat secara perseorangan dan bebas.
·         Defisit keuangan Pemerintah Kolonial semakin besar, antara lain akibat Perang Diponegoro yang banyak menelan biaya, selain itu juga ada pemasukan pajak tanah berjalan lancar.
·         Di Nederland kesulitan ekonomi bertambah besar dengan terjadinya pemisahan Belgia, akibat dari itu Belanda banyak kehilangan industrinya sehingga tidak dapat menyaingi Inggris dalam ekspor hasil industri ke Indonesia. selain itu juga hilangnya sumber keuangan yang berupa tanah domein negara di Belgia yang disewakan.
Sehingga, dalam menghadapi bahaya kebangkrutan Pemerintah Belanda, maka pada Van den Bosch timbul rencana untuk suatu ekonomi politik di Jawa yang akan dapat menyelamatkan negerinya 1.
Dalam tahun 1830 pemerintah Hindia Belanda mengangkat Gubernur Jenderal yang baru untuk Indonesia, yaitu Johanes Van Den Bosch yang diserahi tugas utama untuk meningkatkan produksi tanaman ekspor yang terhenti selama sistem pajak tanah berlangsung2.
Pada tahun  1830 pemerintah kolonial Belanda menjalankan Cultuurstelsel di Indonesia, khususnya di Jawa. Cultuurstelsel adalah istilah resmi pengganti cara produksi yang tradisional dengan cara produksi yang rasional, disebut juga dengan istilah “tanam paksa”  oleh kaum liberal yang anti cara itu karena dianggap sebagai usaha pemerintah yang dalam pelaksanaannya menggunakan cara-cara paksaan3. Pemerintah kolonial Belanda menjalankan tanam paksa tersebut karena kas negara kosong, akibat terjadinya beberapa peperangan di Jawa dan kegagalan dalam pajak tanah.
Cultuurstelsel yang oleh sejarawan Indonesia disebut sebagai Sistem Tanam Paksa adalah peraturan yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch pada tahun 1830 yang mewajibkan setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya (20%) untuk ditanami komoditi ekspor, khususnya kopi, tebu, dan tarum (nila). Hasil tanaman ini akan dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga yang sudah dipastikan dan hasil panen diserahkan kepada pemerintah kolonial. Penduduk desa yang tidak memiliki tanah harus bekerja 75 hari dalam setahun (20%) pada kebun-kebun milik pemerintah yang menjadi semacam pajak4.
Sebelum membahas tentang tanam paksa lebih lanjut terlebih dahulu mengetahui tentang pencetus tanam paksa yaitu Van den Bosch. Ternyata Van den Bosch sudah pernah datang ke Indonesia pada masa sebelum Daendels kemudian Ia terpaksa meninggalkan Jawa. Dalam perjalanan pulang  Van den Bosch ditawan oleh Britania dan menghabiskan 2 tahun di Inggris. Tetapi pada tahun 1813 ketika itu Eropa bangkit melawan dominasi Perancis, Van den Bosch bergabung dengan gerakan nasional di Belanda. Van den Bosch memegang posisi militer tinggi di negara Belanda baru dan ketika pensiun dia mengabdikan waktunya untuk masalah-masalah sosial ekonomi. Van den Bosch sangat berminat  menciptakan kesempatan kerja untuk ribuan orang miskin yang ketika itu memadati kota-kota Belanda. Untuk para penganggur ini tampaknya tidak ada harapan untuk memperoleh masa depan lebih baik. Van den Bosch mengorganisasikan suatu “Masyarakat Budiman” untuk memungkimkan orang miskin kota itu di wilayah pertanian yang belum terbangun di Belanda bagian Timur laut. Van den Bosch diambil pekerjaannya oleh raja yang mempercayakan kepadanya suatu misi khusus ke Hindia Barat. Setelah pulang dia menerima perintah untuk pergi ke Hindia Timur dan merorganisasi struktur ekonomi diwilayah itu5. Itulah sekilas singkat tentang Van den Bosch.
Lanjut kembali mengenai pembahasan tanam paksa. Dimana pada dasarnya tanam paksa pada masa Pemerintahan Kolonial Belanda terkenal dengan nama Cultuurstelsel yang berarti pemulihan sistem eksploitasi berupa penyerahan wajib yang pernah dipraktekkan VOC sewaktu berkuasa dahulu6.
Sebagaimana diketahui bahwa sekitar abad XVIII Masehi secara resmi pemerintahan Indonesia pindah dari kekuasaan VOC kepada pemerintah kolonial Belanda. Antara sistem eksploitasi VOC dengan pemerintah kolonial terdapat persamaan yaitu dalam hal penyerahan wajib hasil-hasil pertanian penduduk desa, meskipun cara pelaksanaannya agak berbeda, pemerintah kolonial Belanda secara langsung mengadakan hubungan dengan para petani yang secara efektif menjamin arus tanaman eksport dalam jumlah yang dikehendaki tanpa harus menghubungi terlebih dahulu para bupati dan kepala desa7.
Sistem tanam paksa mewajibkan para petani di Jawa untuk menanam tanaman-tanaman dagangan untuk ekspor ke pasaran dunia. Ciri utama dari sistem tanam paksa yang diperkenalkan oleh Van den Bosch adalah keharusan bagi rakyat di Jawa untuk membayar pajak mereka dalam bentuk barang, yaitu hasil-hasil pertanian mereka dan bukan dalam bentuk uang seperti yang mereka lakukan selama sistem pajak tanah yang masih berlaku. Van den Bosch mengharapkan agar dengan pungutan-pungutan pajak dalam natura ini tanaman dagangan bisa dikirimkan ke negeri Belanda untuk di jual disana kepada pembeli-pembeli dari Amerika dan seluruh Eropa dengan keuntungan yang besar bagi Pemerintah dan penguasa-pengusaha Belanda8.
Konsep ekonomi politik dari Van den Bosch tersusun berdasarkan pengalaman-pengalaman penguasaha-penguasaha yang mendahuluinya, maka dapat mencakup beberapa gagasan pokok mereke tanpa mengabaikan realitas yang dihadapi di Jawa. Selain itu juga pelaksanaan sistem tanam paksa menggunakan organisasi desa sebagai wahana yang paling tepat untuk meningkatkan produksi9. Alasan mengapa dalam pelaksanaan tanam paksa itu dipergunakan desa sebagai organisme yaitu tanah, kerja dan pimpinan, karena semuanya itu merupakan  satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.  Ke tiga faktor itu apabila di organisasi dengan baik dapat memberikan hasil produksi eksport yang tinggi10.
Pada masa tanam paksa itu, jenis tanaman dipisahkan dalam 2 kategori yaitu: 1). Tanaman tahunan: Tebu, nila, tembakau. 2). Tanaman keras: kopi, teh, lada, kina, kayu manis11. Dari semua itu yang merupakan produk utama yang disediakan Jawa selama peride tanam paksa diantaranya gula, kopi, dan nila. Kopi sebagian besar diproduksi di Priangan12. Untuk meningkatkan produksi eksport Pemerintah Kolonial melakukan usahanya dalam menentukan tanaman yang memberikan keuntungan besar diantaranya tebu dan kopi. Alasan mengapa tanaman tebu dipilih dalam usaha meningkatkan produksi eksport kolonial karena  Tanaman tebu merupakan tanaman tahunan yang membutuhkan irigasi, dan dapat ditanam di sawah, sehingga memungkinkan dapat menanam tebu dan padi bergantian. Sedangkan penanaman tebu tidak cukup kalau hanya mengandalkan pada perluasan tanah, tanpa diimbangi oleh irigasi jalan raya dan sebagainya. Penduduk desa pada dasarnya mempunyai jiwa sosial yang tinggi, sehingga mereka melakukan pekerjaan-pekerjaan itu dengan semangat gotong royong dan kekeluargaan, hal inilah yang disalahgunakan oleh penguasa dan pemerintah kolonial untuk mempekerjakan mereka dan memberi upah yang minim13. Pendirian pabrik-pabrik gula berarti banyak tanah desa yang dipergunakan untuk menanam tebu. Hasil produksi tebu yang meningkat mengakibatkan harus memerlukan banyak tenaga penduduk desa.
Berdasarkan pengalaman dalam kerja paksa ini membuat para penguasa swasta mendapat keuntungan besar dari hasil kontrak gula dengan pemerintah kolonial. Para penguasa swasta mulai berani menggunakan “kerja bebas” yaitu upah yang tidak berdasarkan paksaan melainkan berdasarkan persetujuan sukarela. Jalan-jalan dan alat-alat pengangkutan diperbanyak karena itu penguasa Eropa di Jawa berusaha untuk mengadakan ekspansi14.
Ketentuan-ketentuan sistem tanam paksa, terdapat dalam Staatblad (lembaran negara) tahun 1834 No. 22, lebih kurang 4 tahun setelah pelaksanaan sistem tanam paksa. Ketentuan pokok sistem tanam paksa, antara lain:
1.      Orang-orang Indonesia akan menyediakan sebagiandari tanah sawahnya untuk ditanami tanaman yang laku di pasar Eropa seperti kopi, teh, tebu, dan nila. Tanah yang diserahkan itu tidak lebih dari seperlia dari seluruh sawah desa.
2.      Bagian tanah yang disediakan sebanyak seperlima luas sawah itu bebas dari pajak.Pekerjaan untuk memelihara tanaman tersebut tidak boleh melebihi lamanya pekerjaan yang diperlukan untuk memelihara sawahnya sendiri.
3.      Hasil dari tanaman tersebut diserahkan kepada Pemerintah Belanda dan ditimbang.. Jika harganya ditaksir melebihi harga sewa tanah yang harus dibayar oleh rakyat, maka lebihnya tersebut akan dikembalikan kepada rakyat. Hal ini bertujuan untuk memacu para penanam supaya bertanam dan memajukan tanaman ekspor.
4.      Terdapat pembagian tugas yang jelas, yaitu ada yang bertugas menanam saja, ada yang memungut hasil, ada yang bertugas mengirim hasil ke pusat, dan ada yang bekerja di pabrik. Pembagian ini bertujuan untuk menghindari agar tidak ada tenaga yang harus bekerja sepanjang tahun terus-menerus.
5.      Tanaman yang rusak akibat bencana alam, dan bukan akibat kemalasan atau kelalaian rakyat, maka akan ditangggung oleh pihak pememrintah.
6.      Bagi para penduduk yang tidak mempunyai tanah akan dipekerjakan pada perkebunan milik pemerintah selama 65 hari dalam setahun, pelaksanaan tanam paksa diserahkan kepada pegawai-pegawai pribumi, dan pihak pegawai Eropa hanya sebagai pengawas15.
Selain itu juga ketentuan mengenai yang ditinjau dari segi luas tanah, tanah yang disediakan untuk tanam paksa diambil sebagai presentasi dari seluruh luas tanah pertanian di Jawa tidak begitu besar. Sebagi contoh dibawa ini menjelaskan mengenai tabel pembagian luas tanah untuk penanaman paksa menurut jenis tanamanya dalam tahun 188316.


Tabel pembagian luas tanah Tanam paksa
menurut jenis Tanamannya
dalam tahun 188317
Jenis tanaman
Luas tanah (dalam bahu)
  Gula
32,722
Nila (Indigo)
22,141
Teh
324
Tembakau
86
Kayu manis
30
Kapas
5








Pelaksanaan tanam paksa dalam kenyataannya tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku pada masa itu. Menurut ketentuan,  pemerintahan kolonial seharusnya  mengadakan perjanjian dengan rakyat terlebih dahulu,  tetapi dalam prakteknya, dilakukan tanpa perjanjian dengan penduduk desa sebelumnya dan dengan cara paksaan. Sehingga, banyak terjadi penyelewengan dan penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh pegawai kolonial, bupati dan kepala desa itu sendiri mengakibatkan timbul penderitaan pada penduduk desa yang bersangkutan. Bupati dan kepala desa bekerja bukannya mengabdi kepada kepentingan rakyat desa melainkan kepada pemerintah kolonial atau demi kepentingan pribadi,  membuat merosotnya martabat dan kewibawaan pejabat-pejabat yang bersangkutan dan juga dianggap  sebagai kaki tangan pemerintah kolonial18.
Selain pernyataan diatas penyimpangan-penyimpangan dalam sistem tanam paksa diantaranya sebagai berikut :
1.      Perjanjian tersebut seharusnya dilakukan dengan sukarela, tetapi dalam pelaksanannya dilakukan dengan cara paksaan. Pemerintah kolonial memanfaatkan pejabat-pejabat lokal seperti bupati dan kepala-kepala daerah untuk memaksa rakyat agar menyerahkan tanah mereka.
2.      Di dalam perjanjian, tanah yang digunakan untuk Culturstelsel adalah seperlia sawah, namun dalam prakteknya dijumpai lebih dari seperlima tanah, yaitu sepertiga atau setengah sawah.
3.      Waktu untuk bekerja untuk tanaman yang dikehendaki pemerintah Belanda, jauh melebihi waktu yang telah ditentukan. Waktu yang ditentukan adalah 65 hari dalam setahun, namun dalam pelaksanaannya adalah 200 sampai 225 hari dalam setahun.
4.      Orang yang dipekerjakan berasal dari tempat-tempat yang jauh dari kampungnya, padahal manakan harus disediakan sendiri.
5.      Tanah yang digunakan untuk penanaman tetap saja dikenakan pajak sehngga tidak sesuai dengan perjanjian
6.      Kelebihan hasil tidak dikembalikan kepada rakyat atau pemilik tanah, tetapi dipaksa untuk dijual kepada pihak Belanda dengan harga yang sangat murah;
7.      Dengan adanya sistem persen yang diberikan kepada para pejabat lokal, maka para pejabat itu memaksa orang-orangnya supaya tanamannnya bisa menghasilkan lebih banyak.
8.      Tanaman pemerintah harus didahulukan baru kemudian menanam tanaman mereka sendiri. Kadang-kadang waktu untuk menanam; tanamannya sendiri itu tinggal sedikit sehingga hasilnya kurang maksimal.
9.      Kegagalan panen tetap menjadi tanggung jawab para pemilik tanah19.
Pelaksanaan tanam paksa di Jawa berlangsung lebih kurang selama 40 tahun dan memberikan hasil yang baik bagi pemerintah kolonial sehingga dapat membangun di segala bidang. Sedangkan bagi penduduk di Jawa khususnya, memberikan pula dampak dalam bidang pertanian, sosial maupun ekonomi, antara lain:
a. Dalam bidang pertanian
Cultuurstelsel menandai dimulainya penanaman tanaman komoditi pendatang di Indonesia secara luas. Kopi dan teh, yang semula hanya ditanam untuk kepentingan keindahan taman mulai dikembangkan secara luas. Tebu, yang merupakan tanaman asli, menjadi populer pula setelah sebelumnya, pada masa VOC, perkebunan hanya berkisar pada tanaman "tradisional" penghasil rempah-rempah seperti lada, pala, dan cengkeh. Kepentingan peningkatan hasil dan kelaparan yang melanda Jawa akibat merosotnya produksi beras meningkatkan kesadaran pemerintah koloni akan perlunya penelitian untuk meningkatkan hasil komoditi pertanian, dan secara umum peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pertanian. Walaupun demikian, baru setelah pelaksanaan UU Agraria 1870 kegiatan penelitian pertanian dilakukan secara serius20.
b. Dampak Sosial
·         Dalam bidang pertanian, khususnya dalam  struktur agraris  tidak mengakibatkan adanya perbedaan antara  majikan dan petani kecil penggarap sebagai budak,  melainkan terjadinya  homogenitas sosial dan ekonomi yang berprinsip pada pemerataan dalam pembagian tanah21.
·         Ikatan antara penduduk dan desanya semakin kuat hal ini malahan menghambat perkembangan desa itu sendiri. Mengapa terjadi hal demikian? Karena penduduk lebih senang tinggal di desanya, mengakibatkan terjadinya keterbelakangan dan kurangnya wawasan untuk perkembangan  kehidupan penduduknya.
c. Dampak ekonomi:
·         Dengan adanya tanam paksa tersebut menyebabkan  pekerja mengenal  sistem upah yang sebelumnya tidak dikenal oleh penduduk, mereka lebih mengutamakan sistem kerjasama dan gotongroyong terutama  tampak di kota-kota pelabuhan maupun di pabrik-pabrik gula.
·         Dalam pelaksanaan tanam paksa, penduduk desa diharuskan menyerahkan sebagian tanah pertaniannya untuk ditanami tanaman eksport, sehingga banyak terjadi sewa menyewa tanah milik penduduk dengan pemerintah kolonial secara paksa. Dengan demikian hasil produksi tanaman eksport bertambah,mengakibatkan perkebunan-perkebunan swasta tergiur untuk ikut menguasai pertanian di Indonesia di kemudian hari22.
·         Akibat lain dari adanya tanam paksa ini adalah timbulnya “kerja rodi” yaitu suatu kerja paksa bagi penduduk tanpa diberi upah yang layak, menyebabkan bertambahnya kesengsaraan bagi pekerja. Kerja rodi oleh pemerintah kolonial berupa pembangunan-pembangunan seperti; jalan-jalan raya, jembatan, waduk, rumah-rumah pesanggrahan untuk pegawai pemerintah kolonial, dan benteng-benteng untuk tentara kolonial. Di samping itu, penduduk desa se tempat diwajibkan memelihara dan mengurus gedung-gedung pemerintah, mengangkut surat-surat, barang-barang dan sebagainya. Dengan demikian penduduk dikerahkan melakukan berbagai macam pekerjaan untuk kepentingan pribadi pegawai-pegawai kolonial dan kepala-kepala desa itu sendiri.
Dampak lain dari tanam paksa tersebut yaitu secara tidak sengaja juga membantu kemajuan bagi bangsa Indonesia, dalam hal mempersiapkan modernisasi dan membuka jalan bagi perusahaan-perusahaan partikelir bagi bangsa Indonesia sendiri.    
Akibat tanam paksa ini, produksi beras semakin berkurang, dan harganya pun melambung. Pada tahun 1843, muncul bencana kelaparan di Cirebon, Jawa Barat. Kelaparan juga melanda Jawa Tengah, tahun 1850.
Sistem tanam paksa yang kejam ini, setelah mendapat protes keras dari berbagai kalangan di Belanda, akhirnya dihapus pada tahun 1870, meskipun untuk tanaman kopi di luar Jawa masih terus berlangsung sampai 1915. Program yang dijalankan untuk menggantinya adalah sistem sewa tanah dalam UU Agraria 187023.
Jadi dapat disimpulkan ekonomi Indonesia tahun 1830 merupakan sistem ekonomi tanam paksa dimana perekonomian di Indonesia mengalami perubahan semenjak datangnya Kolonial di Indonesia. dengan demikian juga mengenai ekonomi tahun 1830 dimana merupakan sistem ekonomi tanam paksa pada dasarnya merupakan suatu sistem eksploitasi yang sama seperti yang pernah dilakukan oleh VOC sebelumnya. Karena pengaruh yang mendalam ini, sehingga sistem tanam paksa menimbulkan berbagai perubahan dalam kehidupan masyarakat Jawa dengan beberapa akibat yang tidak diingingkan, khususnya desintegrasi struktur sosial masyarakat Jawa. Desintegrasi ini terutama disebabkan oleh makin meresapnya ekonomi dan lalu lintas uang yang sebelumnya tidak dikenal dalam masyarakat Jawa. Perkembangan ekonomi dan lalu lintas uang ini terutama disebabkan oleh meluasnya pekerjaan upah dan penyewaan tanah para petani kepada pengusaha-pengusaha Belanda yang dibayar dalam bentuk uang24.
Selama tahun-tahun pertama, sistem tanam paksa membuktikan diri sebagai suatu sistem eksploitasi yang efisien yang berhasil meningkatkan penerimaan pemerintah kolonial dan melalui batig slot dalam anggarannya berhasil menutupi defisit yang diderita Pemerintah Belanda sendiri maupun meningkatkan tingkat kemakmuran bangsa Belanda. Di lain pihak sistem tanam paksa pada umumnya tidak menguntungkan rakyat Indonesia sendiri, malahan sebaliknya sering menimbulkan penderitaan dan kesengsaraan yang besar25.
Surplus ekonomi yang dihasilkan oleh sistem ini, praktis tanpa menmggunakan modal pokok investasi yang berarti, karena modal pokok investasi adalah tenaga kerja petani. Tenaga kerja diperas dengan tingkat pendapatan riil yang semakin kecil sehingga kian menciutkan kapasitas petani pekerja untuk menjadi tenaga kerja produktif. Akhirnya kelas pekerja ini tidak memiliki kesempatan untuk semakin memperbaiki dirinya. Kebijakan menanaman komoditas ekspor bahan-bahan mentah ini, menjadikan proses pemenuhan terhadap kebutuhan bahan pokok semakin merosot. Pulau Jawa mengalami kemerosotan bahan makanan pokok, terutama sesudah pembukaan perkebunan-perkebunan besar dilaksanakan. Surplus ekspor (setelah dikurangi impor) sebagai hasil sistem tanam paksa tercatat berjumlah sebesar 781 guilden, selama periode 1840-187526.
Kemajuan-kemajuan tertentu yang terlibat selama sistem tanam paksa berlangsung misalnya perluasan jaringan jalan raya yang sebetulnya tidak disebabkan oleh keinginan pemerintah kolonial untuk meningkatkan taraf hidup bangsa Indonesia. dalam tahun-tahun terakhir makin jelas bahwa sistem tanam paksa sebagai suatu sistem eksploitasi kolonial tidak begitu efisien. Oleh sebab itu, adanya keinginan pihak swasta sumber-sumber alam Hindia Belanda, akhirnya sekitar tahun 1870 sistem tanam paksa dihentikan dan digantikan menjadi sistem politik pintu terbuka. Dengan demikian terbukalah bagi modal swasta Belanda untuk memasuki Hindia Belanda27.

2.2 Ekonomi Indonesia Tahun 1870.
Latar belakang dari pergantian sistem tanam paksa menjadi sistem ekonomi politik pintu terbuka ini yang pada dasarnya politik kolonial liberal di Indonesia tidak terlepas dari perubahan politik Belanda. Dimana pada tahun 1850, golongan liberal mulai mempeoleh kemenangan dalam Pemerintahan. Kemenangan itu diperoleh secara mutlak pada tahun 1870, sehingga tanam paksa dihapuskan. Mereka berpendapat bahwa kegiatan ekonomi di Indonesia harus ditangani oleh pihak swasta. Pemerintah hanya mengawasi saja, yaitu hanya sebagai polisi penjaga malam yang tidak boleh campur tangan dalam bidang ekonomi. Sistem ini akan menumbuhkan persaingan dalam rangka meningkatkan produksi perkebunan di Indonesia. Dengan demikian pendapatan negara juga akan bertambah28.
Pada tahun 1870 sistem tanam paksa di bubarkan. Alasannya cukup jelas karena banyaknya kritikan-kritikan mengenai pelaksanaan tanam paksa dan juga mendapat kecaman yang cukup keras dari berbagai kalangan di Belanda khususnya dari kaum Liberal. walaupun, sistem tanam paksa tersebut dibubarkan. Namun, pemaksaan penanaman kopi di luar Jawa masih terus berlangsung hingga tahun 1915. Kemudian sistem tanam paksa di gantikan oleh kapitalis Liberal. Tidak ada yang berubah dalam dialetik hubungan ekonomi yang terbangun, jika dulu yang melakukan eksploitasi adalah pemerintah sekarang di gantikan pengusaha swasta, pemerintah hanya berperan sebagai penjaga dan pengawas jalannya sistem ekonomi melalui peraturan perundang-undangan29.
Sistem ekonomi kolonial antara tahun-tahun 1870-1900 pada umumnya disebut sistem liberalisme. Maksudnya adalah bahwa pada masa itu untuk pertama kali dalam sejarah kolonial, modal swasta diberi peluang sepenuhnya untuk mengusahakan kegiatan di Indonesia, khususnya perkebunan-perkebunan besar di Jawa maupun di daerah-daerah di luar Jawa. Selama masa ini pihak-pihak swasta Belanda maupun swasta Eropa lainnya mendirikan berbagai perkebunan-perkebunan kopi, teh, gula, dan kina30.

Skema dialektik hubungan ekonomi Indonesia di Zaman Belanda
http://www.ekonomirakyat.org/edisi_11/images/art6_gb1.gif
Pelaksanaan politik pintu terbuka diawali dengan dikeluarkanya Undang-Undang diantaranya sebagai berikut :
1.      Indische Comptabiliteitswet tahun 1867
Yaitu UU perbendaharaan Hindia Belanda yang menyatakan bahwa anggaran belanja Hindia Belanda harus ditetapkan dengan Undang-Undang  dengan persetujuan Parlemen Belanda.
2.      Agrarichwet 1870 (UU agraria)
Berisi antara lain sebagai berikut :
·         Tanah di Indonesia dibedakan menjadi 2 bagian yaitu tanah rakyat dan tanah pemerintah.
·         Tanah rakyat dibedakan atas tanah milik yang sifatnya bebas dan tanah desa yang tidak bebas. Tanah rakyat tidak boleh dijual kepada bangsa asing, hanya boleh disewakan.
·         Tanah pemerintah dapat dijual untuk tanah milik (eigendom) atau disewakan selama 75 tahun.
Adapun tujuan dari dikeluarkannya undang – undang agrarian ini, antara lian :
a.       untuk membela dan melindungi para petani di daerah jajahan agar hak milik atas tanahnya dari usaha penguasaan oleh orang – orang lain.
b.      memberi peluang bagi penanam modal asing untuk dapat menyewa tanah dar rakyat Indonesia, sehingga menguntungkan bagi rakyat Indonesia32.
Adanya UU Agraria memberikan pengaruh bagi kehidupan rakyat, seperti   berikut:
·         Dibangunnya fasilitas perhubungan dan irigasi.
·         Rakyat menderita dan miskin.
·         Rakyat   mengenal   sistem   upah   dengan   uang,   juga   mengenal barang-barang ekspor dan impor.
·         Timbul   pedagang   perantara.   Pedagang-pedagang   tersebut pergi ke   daerah   pedalaman,   mengumpulkan   hasil   pertanian dan menjualnya kepada grosir.
·         Industri   atau   usaha   pribumi   mati   karena   pekerja-pekerjanya banyak yang pindah bekerja di perkebunan dan pabrik-pabrik33.
3.       Suikerwet 1870 (UU gula)
 berisi ketetapan bahwa tanaman tebu sebagai tanaman monopoli pemerintah berangsung-angsur akan dihilangkan sehingga di pulau jawa dapat diusahakan oleh pengusaha swasta34.
Selain itu juga isi dari Undang-Undang Gula diantaranya sebagai berikut:
·         sewa hanya dapat dilakukan antara satu sampai dua tahun.
·         uang sewa sebesar hasil dari satu kali panen petani, kalau tanah itu dikerjakan oleh petani.
·         investor asing wajib mengadakan perjanjian langsung atau kontrak dengan petani35.
Dengan dikeluarkannya undang – undang agraria dan undang – undang gula ini, maka terbukalah Indonesia bagi kaum liberal eropa untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Dengan adanya modal asing yang ditanamkan  di Indonesia, maka muncullah perkebunan – perkebunan asing seperti, tebu, kopi, tembakau, teh, kina, kopra, dan sebagainya. Perkebunan tebu mengalami perkembangan yang sangat pesat, karena gula merupakan mata dagang ekspor yang laku keras di pasaran eropa. Disamping gula, perkebunan tembakau juga berkembang pesat di daerah surakata, yogyakarta dan Sumatra timur ( deli ). Perkebunan teh dan kina dikembangkan di daerah jawa barat dan jawa tengah , perkebunan kelapa dipusatkan di sulawesi36.
Untuk mendukung pelaksanaan dan pengembangan usaha swasta dibangun sarana dan prasarana yaitu Irigasi, jalan raya, jembatan dan kereta api. Angkutan laut juga dikembangkan melalui pembangunan pelabuhan Jakarta (Tanjung Priuk), Medan ( Belawan). Padang (Teluk Bayur). Angkutan laut dilayani oleh perusahaan pengangkutan Belanda bernama Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM)37.
Pengaruh Politik Liberal Bagi Indonesia
Adanya swasta asing di Indonesia berakibat berkembangnya perkebunan-perkebunan swasta asing di Indonesia sebagai contoh perkebunan teh dan kina di Jawa Barat, perkebunan Tembakau di Deli, perkebunan tebu di Jawa Tengah dan Jawa Timur, dan perkebunan karet di Serdang. Selain mengenai perkebunan sejak adanya swasta asing di Indonesia juga terjadi penanaman modal di bidang pertambangan batu bara di Umbilin. Adapun pengaruh gerakan liberal terhadap Indonesia secara umum adalah sebagai berikut :
·         Tanam paksa dihapus.
·         Modal swasta asing mulai ditanamkan di Indonesia.
·         Rakyat Indonesia mulai mengerti akan arti pentingnya uang.
·         Usaha kerajinan rakyat terdesak oleh barang impor.
·         Pemerintah Hindia Belanda membangun sarana dan prasarana.
·         Hindia Belanda menjadi penghasil barang perkebunan yang penting38.
Ternyata pelaksanaan politik kolonial tidak lebih baik dari sistem ekonomi tanam paksa. Justru pada masa ini penduduk diperas oleh dua pihak diantaranya oleh pihak swasta dan pihak pemerintah. Pemerintah memeras penduduk secara tidak langsung melalui pajak-pajak perkebunan dan pabrik yang harus di bayar oleh pihak swasta. Padahal, pihak swasta juga ingin mendapat keuntungan yang besar. Sehingga untuk melakukan hal tersebut parah buruh di bayar dengan gaji yang sangat rendah, tanpa jaminan kesehatan yang memadai, jatah makan yang kurang, dan tidak lagi mempunyai tanah karena sudah disewakan untuk membayar hutang. Mereka sangat tersiksa dengan perbuatan tersebut. Selain itu juga para pekerja perkebunan diikat dengan sistem kontrak. Sehingga mereka tidak dapat melepaskan diri. Mereka harus mau menerima semua yang telah ditetapkan oleh perusahaan. Mereka tidak berani melarikan diri  karena mereka akan terkena hukuman dari pengusaha jika tertangkap. Dimana pihak pengusaha tersebut mempunyai peraturan yang disebut Ponale Sanctie yaitu peraturan yang menetapkan pemberian sanksi hukuman bagi para buruh yang melarikan diri dan tertangkap kembali. Sehingga keadaan sperti ini yang menyebabkan tingkat kesejahteraan rakyat semakin merosot sehingga rakyat semakin menderita39.
Jadi, pada masa tanam paksa rakyat diperas oleh pemerintah Hindia Belanda, sedangkan pada masa politik pintu terbuka rakyat diperas baik pengusaha swasta maupun oleh pemerintah. Walaupun pemerintah melakukannya secara tidak langsung. Kekuatan liberal mendesak pemerintahan kolonial melindungi modal swasta dalam mendapatkan tanah, buruh, dan kesempatan menjalankan usaha atau perkebunan. Negara menjadi pelayan modal lewat dukungan infrastruktur dan birokrasi, dengan menelantarkan pelayanan masyarakat. Dengan demikian politik kolonial liberal yang semula menghendaki liberalisasi tanah jajahan lalu berkembang menjadi bagaimana mengatur tanah jajahan untuk memperoleh uang40.
dampak pelaksanaan sistem usaha swasta antar lain sebagai berikut :
·         bagi Belanda sistem ini telah memberi keuntungan yang besar karena meningkatnya tanaman eksport, seperti gula, kopi, teh kopra dan kina. Keuntungan Belanda berkisar 151 juta gulden pada tahun 1877.
·         Bagi bangsa Indonesia mengenal sistem ekonomi uang yaitu masyarakat mengenal uang tunai dari hasil sewa tanah. Dampak negatifnya adalah mundurnya kerajinan rakyat serta sarana tradisional karena digantikan alat dan sarana yang lebih modern. Para pekerja perkebunan banyak yang mengalami penderitaan karena sebagai kuli kontrak terkuno Poenale Sanctic (Sanksi hukuman) yang acapkali diperlakukan semena-mena41.
Akhirnya pelaksanaan sistem usaha swasta ini mendapat kritikan dari berbagai pihak diantaranya dari Van De Venter yang akhirnya melahirkan politik etika tahun 190142.
2.3 Dampak Ekonomis Sistem Tanam Paksa pada Masyarakat Agraris di Jawa
Dalam ruang lingkup tradisional, tenaga kerja rakyat pedesaan tererap dalam berbagai ikatan, baik dari desa maupun yang feodal. Dimana penyelenggaraan sistem tanam paksa didasarkan pada kelembagaan tersebut. Permintaan akan tenaga kerja baru diakibatkan karena pendirian pabrik-pabrik tempat memproses hasil tanaman, terutama tebu. Pada awalnya industri gula mengalami kesulitan diantaranya soal transportasi yang terasa amat sangat membebani rakyat jika diharuskan memikulnya. Oleh karena tersebut Gubernur terpaksa menaikkan harga beli gula agar pemilik pabrik bersedia mengusahakan sendiri pengangkutan lewat pasaran bebas. Disini mulai terbuka lapangan pekerjaan bebas bagi rakyat, antara lain dengan menyewakan pedati, bekerja sebagai buruh di pabrik, dan sebagainya. Pembayaran plantloon (upah tanam) sehabis menyerahkan hasil tanaman wajib dapat dipandang sebagai penukaran tenaga dengan uang, suatu langkah kearah pembebasan tenaga dari ikatan tradisional43.
Selain mengenai perkebunan pada sistem tanam paksa ini juga telah ramai pula pemasaran barang-barang antara lain barang tekstil impor, seperti pada tabel berikut :


Tabel Laporan Pemasaran barang Tekstil44
Tahun
Pendapatan
1830
3,8
1831
2,9
1832
1,9
1833
3,9
1834
4,4
1835
4,1
Tahun
Pendapatan
1836
6,1
1837
7,1
1838
9,7
1839
10,5
1840
13,3
Jadi, dengan demikian sistem tanam paksa tersebut telah menciptakan lalu lintas uang, suatu faktor ekonomi yang dapat mempercepat timbulnya ekonomi uang di pedalaman.
Dalam penyelenggaraan sistem tanam paksa ini, kekuasaan kolonial sampai di pedesaan dan merusak hak milik tanah menurut hukum adat setempat. Sehingga dapat dikatakan bahwa sistem tanam paksa memperkuat sistem feodal di Jawa. dampak sistem tanam paksa pada masyarakat Indonesia yang sangat berpengaruh dalam jangka panjang pada struktur sosial ekonomi antara lain bahwa sistem tanam paksa hanya merupakan suatu intensifikasi sistem produksi pra kapitalis, sehingga tidak mampu menciptakan kekuatan-kekuatan ekonomis yang otokhon yang melahirkan pertumbuhan ekonomi dengan perkembangan kapitalismenya. Sistem tanam tersebut menciptakan usaha pertanian yang padat karya pada pihak pribumi serta usaha industri pertanian yang padat modal pada pihal penguasa Eropa atau asing. Akibat dari itu timbul dualisme dalam ekonomi, suatu gejala yang menjadi ciri khas ekonomi Indonesia dan merupakan sistem yang konsisten dengan politik kolonial Belanda. Sektor agraris-pribumi dalam penyelenggaraan sistem tanam paksa tidak hanya tidak mengalami perubahan cara produksi bahkan dimantapkan diantaranya dengan memperkuat sistem produksi feodal pada suatu pihak dan pada pihak lain membuat ekosistem agraris yang kuat dan karenanya membangun pola agraris yang lestari dimana sampai sekarang masih terasa pengaruhnya45.
Intenfikasi pertanian dalam masa sistem tanam paksa dan selama setengah abad sesudahnya mencakup perluasan tanah-sawah untuk tanaman tebu dan pengerahan tenaga semakin banyak. Perluasan ini dibatasi oleh pernyataan “domein” tanah-tanah yang belum terbuka lagi pula sistem tanaman tebu setiap musim sangat membatasi areal penanaman padi. Disamping itu sudah tuntas semua usaha dalam penggunaan tanah yang seproduktif mungkin. Pengaturan pengairan, pembuatan terasnya, pendeknya pemakaian-pemakaian sumber daya pertaniannya. Dalam kondisi seperti itu masukan baru yang dapat diadakan dan masih tersedia ialah sumber daya manusia, akan tetapi memberikan kemungkinan kenaikan produksi lagi. Sehingga tampak gejala involusi agraris di Jawa46.

Perkembangan agraris tersebut menimbulkan kecenderungan kearah keadaan statis serta tingkat perekonomian yang terbelakang, bukan diferensiasi tetapi uniformitas, bukan kompetisi tetapi “membagi rezeki”. Sedangkan arah kedalam timbul keketatan dalam pola hidup, ada pengaturan semakin mendetil, antara lain aturan penguasaan dan penggarapan tanah, hubungan pemilik dan penggarap tanah yang semakin berkelok-kelok, kerja sama sistem sambatan yang semakin kompleks, dan sebagainya. Pengaruh proses ini pada struktur agraris adalah bahwa tidak muncul tuan-tuan tanah besar dan petani kecil penggarap dengan status setengah budak, melainkan adanya semacam homogenitas sosial dan ekonomis dengan memakai prinsip pemerataan dalam pembagian tanah47.

Selama penyelenggaraan sistem tanam paksa keadaan ekonomi Nederland mengalami perubahan antara lain disamping modal perdagangan sementara saldo hasil ekspor Indonesia untuk pasaran Eropa timbul modal untuk Industri barang-barang yang dibuat oleh pabrik-pabrik Belanda untuk di jual ke Indonesia. jadi dapat disimpulkan bahwa di Indonesia telah berkembang suatu lalu lintas uang dan pasaran tenaga sehingga lebih terbuka kemungkinan untuk mengubah ekonomi politik didaerah jajahan yang lebih sesuai dengan prinsip-prinsip liberalisme. Ini terlihat dari langkah-langkah yang dilakukannya yaitu perubahan struktur dari cara produksi, antara lain perjuangan ideologis untuk membebaskan tenaga kultur dan pemakaian tanah, penyusunan sistem perundang-undangan yang sesuai dengan hal tersebut, mengubah struktur agraris dan feodal dari masyarakat pribumi48.